- Back to Home »
- Mahkamah Internasional PBB
Posted by : Soman Mujahid
Kamis, 15 Mei 2014
A. Sejarah Berdirinya Mahkamah Internasional
Pada latar belakang
diatas telah diuraikan sedikit mengenai Mahkamah Internasional, sebelum penulis
mengkaji lebih jauh mengenai segala sesuatu yang terkait Mahkamah
Internasional, maka sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana sejarah
timbulnya Mahkamah Internasional.
PCIJ merupakan pendahulu
Mahkamah Internasional (ICJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal 14 Kovenan Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1922. Sebagai badan peradilan internasional,
PCIJ diakui sebagai suatu peradilan yang memainkan peranan penting dalam
sejarah penyelesaian sengketa internasional. Arti peran ICIJ tampak sebagai
berikut:
1.
PCIJ merupakan suatu
badan peradilan permanen yang diatur oleh Statuta dan Rules of Procedure-nya
mengikat para pihak yang menyerahkan sengketanya pada PCIJ.
2.
PCIJ memiliki suatu
badan kelengkapan, yaitu Registry (pendaftar) permanen yang antara lain
bertugas menjadi penghubung komunikasi antara pemerintah dan badan-badan
organisasi internasional.
3.
Sebagai badan peradilan,
PCIJ telah menyelesaikan berbagai sengketa yang putusannya memiliki nilai
penting dalam perkembangan hukum internasional. Dari tahun 1922 sampai 1940,
PCIJ telah menangani 29 kasus. Beberapa ratus perjanjian dan konvensi
memuat klausul penyerahan sengketa kepada PCIJ.
4.
Negara-negara telah
memanfaatkan badan peradilan ini dengan cara menundukkan dirinya terhadap
yurisdiksi PCIJ.
5.
PCIJ memiliki
kompentensi untuk membeikan nasehat hukum terhadap masalah atau sengketa hukum
yang diserahkan oleh Dewan atau Majelis LBB. Selama berdiri, PCIJ telah
mengeluarkan 27 nasehat hukum yang berupa penjelasan terhadap aturan-aturan dan
prinsip-prinsip hukum internasional.
6.
Statuta PCIJ menetapkan
berbagai sumber hukum yang dapat digunakannya terhadap pokok
perkara yang diserahkan kepadanya termasuk masalah-masalah yang membutuhkan
nasehat hukum PCIJ antara lain diberi wewenang untuk menetapan prinsip ex aequo et
bono apabila para pihak
menghendakinya.
7.
PCIJ memiliki lebih
banyak perwakilan (anggota) baik dari jumlah maupun system hukum yang terwakili
di dalamnya.
Meskipun mempunyai
peranan yang penting dan cukup kuat, namun pecahnya Perang Dunia II pada bulan
September 1939 telah berakibat serius terhadap PCIJ dan secara politis telah
menghentikankegiatan-kegiatan Mahkamah. Terjadinya peperangan yang terus
berkelanjutan ini bahkan telah membuat PCIJ menjadi bubar.
Pada tahun 1942, Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari Inggris menyatakan kesepakatan
untuk mengaktifkan dan membentuk kembali suatu mahkamah internasional. Pada tahun
1943 pemerintah Inggris mengambil inisiatif dengan mengundang para ahli London
untuk mengkaji masalah tersebut yaitu Inter-Allied Committee yang dipimpin oleh
Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil mengeluarkan
laporannya pada tanggal 10 Februari 1944 yang memuat beberapa rekomendasi
sebagai berikut :
1.
Bahwa perlu dibentuk
suatu Mahkamah Internasional baru dngan statute yang berlandaskan Statuta PCIJ.
2.
Bahwa mahkamah baru
tersebut harus memiliki yurisdiksi untuk memberikan nasehat.
3.
Bahwa mahkamah baru
tersebut tidak boleh memiliki yurisdiksi memaksa (cumpolsory jurisdiction).
Setelah berbagai
pertemuan dan pembahasan mengenai pembentukan suatu mahkamah baru, akhirnya
dicapailah kesepakatan pada Konferensi San Fransisco pada tahun 1945 yang
memutuskan bahwa akan dibentuk suatu badan Mahkamah Internasional beru dan
badan ini merupakan badan utama PBB (Pasal 92 Piagam PBB).
B. Dasar Hukum Mahkamah Internasional.
Secara keseluruhan, ada
5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi
internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah:
1.
Piagam PBB (1945),
2.
Statuta MI (1945),
3.
Aturan Mahkamah atau Rules of the
Court (1970) yang telah
diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000,
4.
Panduan Praktek atau Practice
Directions I – IX dan
5.
Resolusi tentang Praktek
Judisial Internal dari Mahkamah atauResolution Concerning the Internal Judicial
Practice of the Court yang diadopsi pada
tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).
Di dalam Piagam PBB
1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI
sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di dalam Statuta MI sendiri,
ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang
mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada
26 pasal (pasal 39 – 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam
BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68).
Dasar hukum yang ketiga
yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal.
Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana
amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into
force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau
non-retroactif,
“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before that date”
“…..The amended Rules shall come into force on 1 February 2001, and shall as from that date replace the Rules adopted by the Court on 14 April 1978, save in respect of any case submitted to the Court before 1 February 2001, or any phase of such a case, which shall continue to be governed by the Rules in force before that date”
Dasar hukum yang
berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar
untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar
tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar
hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek
Judisial Internal dari Mahkamah(Resolution Concerning the Internal Judicial
Practice of the Court),
(1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang
telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi
yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5
Juli 1968.
C. Komposisi Mahkamah Internasional
1. Hakim Mahkamah Internasional
§ Mahkamah Internasional terdiri dari 15 orang
hakim. Mereka dipilih berdasarkan suara mayoritas mutlak dalam suatu pertemuan
secara bersamaan tetapi terpisah di Dewan Keamanan dan Majelis Umum (Pasal 4
Statuta). Calon hakim harus dinominasikan oleh kelompok negara yang khusus
ditunjuk untuk itu (diusulkan kelompok negara yang khusus ditugaskan untuk
itu).
§ Calon hakim tersebut harus memiliki moral yang
tinggi (high moral characteristic). Ia juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan di negaranya untuk menduduki suatu jabatan kehakiman tertinggi,
ia harus pula diakui kompetensinya dalam hukum internasional.
§ Statuta Mahkamah mensyaratkan bahwa pemilihan
hakim tanpa memandang kebangsaan (nasionalitasnya), namun dalam pelaksanaan
faktor kebangsaan sangat dominant karena pengangkatannya ditentukan oleh factor
geografis.
§ Dalam praktik kebiasaan tak tertulis, hakim
mahkamah menganut pembagian sebagai berikut :
·
5 orang dari negara-negara
Barat;
·
3 orang dari
negara-negara Afrika;
·
3 orang dari
negara-negara Asia;
·
2 orang dari
negara-negara Eropa Timur;
·
2 orang dari
negara-negara Amerika Latin;
·
Dari praktek tidak
tertulis, 5 orang dari 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan mrnduduki jabatan
hakim dalam Mahkamah Internasional.
·
Hakim Mahkamah
Internasional dipilih untuk jangka waktu 9 tahun, dan setelah itu dapat dipilih
kembali.
·
Untuk menjaga
kelangsungan suatu sengketa dalam hal seorang atau beberapa hakim telah
memasuki masa tugasnya selama 9 tahun, maka Statuta mensyaratkan adanya
pemilihan 5 orang hakim untuk bertugas selama 5 tahun secara interval (Pasal 13
ayat (1) Statuta Mahkamah).
2. Hakim Ad Hoc
Dalam perkembangannya
apabila suatu negara terlibat sengketa dan komposisi hakim tidak ada hakim dari
negara yang bersangkutan maka negara tersebut dapat meminta dipilih hakim ad-hoc. Hakim ad-hoc ini dipilih diluar dari 15 orang hakim Mahkamah.
Seorang hakim Mahkamah
Internasional tidak dilarang untuk memeriksa suatu kasus yang menyangkut
negaranya atau kepentingan negaranya (Pasal 31 Statuta), meskipun Rules of
Court (aturan hukum acara ICJ) menyatakan bahwa jika ia adalah ketua atau
presiden Mahkamah, ia seharusnya menonaktifkan fungsinya sebagai ketua atau
presiden dalam kasus tersebut. Fungsi ketua dalam hal inidigantikan oleh wakil
ketua. Apabila suatu Negara pada suatu sengketa tidak memiliki hakim yang
berkebangsaan negaranya, ia dapat meminta agar seorang hakim ad hoc dipilih
(Pasal 31 ayat(3) ).
Seorang Hakim ad hoc diharuskan
untuk mengucapkan sumpah seperti halnya seorang hakim yang dipilih suatu pihak
yang hendak meminta hakim ad hoc. Ia harus mengumumkannya secepat mungkin niat
tersebut. Peranan dan kedudukan Hakim ad hoc ini sama dengan perana dan
kedudukan hakim biasa. Namun, dalam persyaratan kuorum hakim untuk mengambil
putusan yaitu sebanyak 9 (Sembilan), tidaklah termasuk suara dari Hakim ad hoc
ini.
3. Chamber
§ Mahkamah dalam menyelesaikan sengketanya dapat
memeriksa dengan seluruh anggotanya atau cukup dengan beberapa hakim tertentu
yang dipilih secara rahasia, disebut Chamber. PutasanChamber tetap dianggap sebagai putusan dari Mahkamah.
§ Chamberyang tersedia dalam Mahkamah :
·
The Chamber of Summary Procedure, yaitu Chamber yang terdiri 5 orang hakim termasuk di dalamnya
presiden dan wakil presiden.
·
Chamber (lainnya) yang
sedikitnya terdiri 3 hakim yang menangani suatu kategori atau kelompok sengketa
tertentu, misalnya di bidang perburuhan atau komunikasi.
·
Chamber (lainnya) yang dibentuk
Mahkamah untuk menangani kasus tertentu setelah berkonsultasi dangan para pihak
mengenai jumlah dan nama-nama hakim yang akan menangani sengketa.
·
Ketentuan mengenai Chamber diatur dalam Rules concerning Chamber of Court. Pembentukannya pertama kali tahun 1982 dalam
sengketa Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of
Maine(Gulf Maine case) antara Kanada dan Amerika Serikat.
4. The Registry
§ Adalah organ administratif Mahkamah, bertanggung
jawab hanya pada mahkamah. Tugas utamanya memberi bantuan jasa di bidang
administrative kepada negara-nrgara yang bersengketa dan juga berfungsi sebagai
suatu sekretariat. Kegiatannya mengurusi masalah administratif, keuangan,
penyelenggaraan konferensi dan jasa penerangan dari suatu organisasi
internasional.
§ Pejabat-pejabat the Registry disumpah dan
memiliki imunitas atau kekebalan seperti halnya misi diplomatik.
§ The Registry terdiri dari :
·
Registrar : seseorang
yang memiliki kedudukan yang sama seperti halnya asisten (pembantu) Sekjend PBB
dan Depury Registrar. Keduanya dipilih oleh Mahkamah melalui pemungutan suara
secara rahasia. Ia bertugas sebagai saluran komunikasi antara ICJ dengan Negara
atau organisasi internasional, memelihara urusan-urusan administratif Mahkamah,
dan ikut pula menandatangani siding putusan Mahkamah.
·
40 orang bertugas tetap
di bidang kesekretariatan, tenaga administratif, petugas arsip, pengetikan,
pustakawan, petugas keamanan.
·
Beberapa petugas
sementara yang dipekerjakan untuk sementara waktu untuk melakukan tugas
penerjemahan, penulisan cepat.
D. Yurisdiksi Mahkamah Internasional
Secara umum, jurisdiksi
dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar hukum internasional untuk
menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Hal ini juga berlaku bagi MI
dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa atas dasar hukum
internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus
menerima jurisdiksi dari MI.
Yurisdiksi mempunyai dua
istilah yaitu konteks kedaulatan negara dan konteks organ yudisial. Dalam
konteks kedaulatan negara, yurisdiksi adalah manifestasi dari kedaulatan.
Bowett medefinisikan yurisdiksi sebagai kewenangan untuk membuat hukum dan
kewenangan negara untuk memaksakan berlakunya aturan hukum. Yurisdiksi dalam
konteks organ yudisial berakaitan erat dengan kewenangan untuk memaksakan
berlakunya hukum pada umumnya diserahkan pada cabang yudisial dari kekuasaan
negara.
Pengertian yurisdiksi
menurut beberapa ahli :
1. Mochtar
Kusumaatmadja
Yurisdiksi adalah
wewenang suatu negara untuk memaksa pentaatan terhadap hukumnya baik yurisdiksi
kriminal maupun pedata
2. Brown Lie
Yurisdiksi merupakan
aplikasi dari kedaulatan. Negara berdaulat dapat memaksakan pentaatan hukumnya
3. D.J Harris
Yurisdiksi adalah
kekuasaan berdasar hukum internasional untuk mengatur orang dan benda dengan
hukum nasionalnya
Sehingga dapat
dikemukakan yurisdiksi pada dasarnya adalah suatu bentuk kewenangan yang
dimiliki oleh pengadilan internasiobal, yang memberi kekuasaan pada pengadilan
internasional untuk memeriksa kasus, menerapkan hukum dan mengambil keputusan
atasnya. Ada empat kriteria yang menentukan yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu
pengadilan internasional,yakni :
1.
wilayah
2.
waktu
3.
materi perkara
4.
person yang dapat
dicakup oleh pengadilan yang bersangkutan.
Sedangkan yurisdiksi itu
sendiri dapat dibagi menjadi :
1. Yurisdiksi Teritorial
Secara umum, Statuta
Roma 1998 menegaskan bahwa mahkamah internasional dapat menjalankan fungsi dan
kewenangannya di wilayah negara pihak dalam Statuta Roma 1998. Namun mahkamah
internasional dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah negara
bukan pihak, selama ada perjanjian khusus dimana sepanjang menyangkut kasus
pelakunya adalah warga negara dari negara pihak dalam Statuta Roma 1998[1].
Apabila suatu kasus
dirujuk kepada penuntut umum oleh Dewan Keamanan PBB yang mengambil tindakan
dalam kerangka bab VII Piagam PBB, Statuta Roma 1998 tidak menegaskan tentang
aspek teritorial tempat kejadian pelanggaran maupun aspek nasionalitas
pelakunya. Dalam hal inisiatif, mahkamah internasional dapat menerapkan
yurisdiksinya di wilayah negara yang bukan pihak atas kejahatan yang dicakup
oleh mahkamah internasional yang pelakunya bukan warga negara dari negara pihak
dalam Statuta Roma 1998[2].
Selain itu kapal dan
pesawat udara dalam konteks yuridiksi teritorial dianggap sebagai wilaah
dari negara tempat kapal atau pesawat udara itu didaftarkan (the state of
regisration)[3].
2. Yurisdiksi Ratione Temporis (waktu)
Selain dibatasi secara
teritorial, yurisdiksi organ yudisial juga dapat dibatasi oleh waktu.
Salah satu prinsip yang dianggap fundamental dalam suatu hukum adalah
asas legalitas, berdasarkan prinsip ini, seserang tidak dapat dianggap
melakukan kesalahan dan dijatuhi hukuman apabila tidak ada hukum yang mengatur.
Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dituntut dan dihukum atas dasar
tindakan yang pada waktu dilakukan belum dinyatakan sebagai suatu
pelanggaran.
3. Yurisdiksi Ratione Personae
Ukuran lain yang
menentukan kualitas yurisdiksi suatu organ yudisial adalah kriteria tentang
siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum di muka organ yudisial yang
bersangkutan. Mengenai hal ini, Statuta Roma 1998 menegaskan bahwa Mahkamah
Internasional memiliki yurisdiksi atas orang (natural person). Dengan demikian,
Mahkamah Internasional tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili legal
person, termasuk juga negara dan organisasi internasional. Penegasan ini
dilengkapi oleh ketentuan yang menyatakan bahwa orang yang melakukan
pelanggaran secara material masuk dalam Mahkamah Internasional harus menaggung
pertanggungjawaban secara individual[4].
4. Yurisdiksi Ratione Materiae
Hal terakhir yang
menentukan kinerja yurisdiksi Mahkamah Internasional adalah materi dan
jenis-jenis kejahatan yang dicakup oleh yurisdiksi Mahkamah Internasional.
Kejahatan itu diatur dalam Artikel 5-8 Statuta Roma 1998. Empat kategori
kejahatan internasional adalah sebagai berikut :
1.
Genosida
2.
Kejahatan kemanusiaan
3.
Kejahatan perang
4.
Agresi
Pengertian kejahatan
perang dalam Statuta Roma 1998 :
§ Pelanggaran bert terhadap Konvensi-konvensi
Jenewa 1949
§ Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan
yang berlaku dalam situasi sengketa bersenjata internasional.
Yuridiksi Mahkamah
Internasional mencakup 2 hal:
1.
Contentious Jurisdiction
Yuridiksi mahkamah ini
merupakan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa antara 2 negara atau lebih
(Jurisdiction Ratione Personae)
Yuridiksi Mahkamah
Internasional dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
a. Berdasar pasal 36
ayat 1 statuta
Berdasar pasal 36 ayat 1
statuta, yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh
para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam piagam PBB yang dituangkan
dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional.
b. Doktirn Forum
Prorogatum
Menurut doktrin ini,
yurisdiksi seperti ini (Propogated Jurisdiction) timbul manakala hanya satu
negara yang menyatakan dengan tegas persetujuannya atas Yurisdiksi Mahkamah.
Kesepakatan pihaj lainnya diberikan secra diam-diam, tidak tegas atau tersirat
saja.
c. The Optional Clause
Pasal 36 Ayat 2 Statuta
Berdasar pasal 36 ayat 2
yaitu klausul pilihan, dinyatakan bahwa Negara-negara peserta pada statute
dapat setiap waktu menyatakan penerimaan wajib ipso facto yurisdiksi Mahkamah
dan tanpa adanya perjanjian khusus terhadap Negara yang menerima kewajiban
serupa atas semua sengketa hukum mengenai:
-
Penafsiran suatu perjanjian
-
Setiap masalah hukum internasional
-
Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi, akan merupakan suatu pelanggaran
kewajiban internasional
-
Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran suatu kewajiban
internasional
2. Noncontentious
(Advisory) Jurisdiction
Yaitu dasar hukum
yurisdiksi mahkamah untuk member nasehat atau pertimbangan hukum kepada organ
utama atau organ PBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya,
hanya terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktifitas dari 5 badan atau
organ utama dan 16 badan khusus PBB.
a. Pihak nonanggota PBB
dan intervensi pihak ketiga
Pihak non anggota PBB,
Pasal 93 ayat 1 piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota PBB ipso facto adalah
anggota atau peserta pada statute mahkamah internasional. Pasal 93 ayat 2
piagam menyatakan bahwa Negara-negara nonanggota PBB dapat pula menjadi pihak
pada statu mahkamah dengna syarat-syarat yang ditetapkan oleh majelis umum atas
rekomendasi dari dewan keamanan.
Mengenai intervensi
pihak ketiga, suatu Negara dapat pula memohon untuk ikut serta/melakukan
intervensi dalam suatu persidangan suatu sengketa manakala Negara ketiga
tersebut memiliki kepentingan hukum. Kepentingan hukum dalam arti putusan
mahkamah yang akan dikeluarkan dapat berpengaruh kepada kepentingannya.
Ketentuan mengenai intervensi ini termuat pula dalam aturan mahkamah yaitu
dalam pasal 62 statuta dan rules of the international court of justice pasal
81-86.
Untuk sebuah kasus dapat
diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima
jurisdiksi dari MI. Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam bentuk:
1. Perjanjian
Khusus atau Special Agreement
Negara yang akan menjadi
pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus yang berisikan
subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Ada 14 kasus yang memakai cara
pembuatan perjanjian khusus antara para pihak untuk menerima jurisdiksi dari
MI, yaitu kasus Asylum (Kolombia/Peru); Minquiers and Ecrehos
(Perancis/Inggris); Sovereignty over Certain Frontier Land (Belgia/Belanda);
North Sea Continental Shelf (Jerman/Denmark; Jerman/Belanda); Continental Shelf
(Tunisia/Libya Arab Jamahiriya); Delimitation of the Maritime Boundary in the
Gulf of Maine Area (Kanada/Amerika Serikat); Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta); Frontier
Dispute (Burkina Faso/Mali); Land, Island
and Maritime Frontier Dispute (El Salvador/Honduras); Territorial Dispute (Libya Arab
Jamahiriya/Chad); GabcÃkovo-Nagymaros Project (Hongaria/Slovakia);
Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia); Sovereignty over Pulau Ligitan and
Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia);Corfu Channel (Inggris v. Albania); Arbitral Award
Made by the King of Spain on 23 December 1906 (Honduras v. Nikaragua)
2. Ketundukan dari Perjanjian Internasional
Dalam bentuk ini,
jurisdiksi MI ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan
anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi MI jika terjadi sengketa. Para pihak
tinggal memakai dasar ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang
mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI,
“The application shall specify as far as possible the legal
grounds upon which the jurisdiction of the Court is said to be based; it shall
also specify the precise nature of the claim, together with a succinct
statement of the facts and grounds on which the claim is based”
Kurang lebih ada 300
perjanjian internasional yang menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa. Pada
umumnya jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus
tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang akan
dimintakan kepada MI.
3. Deklarasi Ketundukan bagi negara Anggota Statuta MI
Pada bentuk ini, Negara
yang menjadi anggota dari Statuta MI yang kemudian beracara di MI dapat dalam
waktu yang tidak ditentukan untuk menyatakan ketundukannya ke MI, jadi tanpa
membuat perjanjian khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory ipso
facto. Kurang lebih ada 60
negara di dunia yang memakai cara ini untuk menerima jurisdiksi dari MI. salah
satu contoh adalah :
“I have the honour, by direction of the Minister for Foreign
Affairs, to declare on behalf of the Government of Japan, that in conformity
with paragraph 2 of Article 36 of the Statute of the International Court of
Justice, Japan recognizes as compulsory ipso facto and without special
agreement, in relation to any other State accepting the same obligation and on
condition of reciprocity, the jurisdiction of the International Court of
Justice, over all disputes which arise on and after the date of the present
declaration with regard to situations or facts subsequent to the same date and
which are not settled by other means of peaceful settlement. This
declaration does not apply to disputes which the parties thereto have agreed or
shall agree to refer for final and binding decision to arbitration or judicial
settlement. This declaration shall remain in force for a period of five
years and thereafter until it may be terminated by a written notice”.
4. Keputusan MI tentang Jurisdiksi MI
Jika terjadi sengketa
mengenai jurisdiksi MI maka sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan
MI sendiri. Para pihak dapat mengajukanpreliminary objections atau keberatan awal atas jurisdiksi MI. Ada 26
kasus dimana diajukan keberatan awal atas jurisdiksi MI.
5. Interpretasi Putusan
Jurisdiksi MI dilihat
dari Statuta MI, Pasal 60, dimana MI harus memberikan interpretasi jika diminta
oleh baik satu maupun kedua pihak yang beracara. Cara permintaan interpretasi
putusan tersebut dapat dalam bentuk perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa,
ataupun aplikasi sendiri dari salah satu pihak yang bersengketa. Contoh kasus
interpretasi putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylumantara Kolombia melawan Peru dan juga negara
Nigeria dalam kasusLand and Maritime Boundary antara Nigeria melawan Kamerun
6. Revisi Putusan
Ketundukan pada
jurisdiksi MI dengan cara ini adalah melalui aplikasi dengan syarat bahwa ada
fakta baru (novum) yang belum diketahui MI dan para pihak ketika keputusan itu
dibuat dan bukan karena ada unsur kesengajaan dari para pihak. Jangka waktu
yang diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak keputusan
dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan adalah pada kasus Continental
Shelf yang diajukan oleh
negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab Jamahiriya)
E. Hukum Acara dan Proses Beracara dalam Mahkamah Internasional
serta Putusan MI
Secara umum mekanisme
beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi
bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.
1.
Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement)
atau Aplikasi (Application)
Bagian awal proses
beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara
kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus
berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Karena tidak ada
pembagian sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara
memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia.
Selain penyerahan
perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu dengan
penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan
aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari
konflik, disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v.
atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak
yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia Perjanjian khusus atau aplikasi
tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar
Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan.
Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada
sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan
perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari
MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General
Lists yang akan diteruskan
dengan press release. Versi dua bahasa (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau
aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim
ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang
yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh
register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.
Setelah tahap pemberian
perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang
selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written
pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, MI
memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan
dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan.
2. Pembelaan Tertulis (Written Pleadings)
Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak
ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun
aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial). Jika
ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI
menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban
(Reply).
Batasan waktu yang
diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara
sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa
juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai.
Sebuah memorial harus
berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus
berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang
disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas
pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta. Dokumen pendukung biasanya
langsung menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu panjang,
maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap tertulis ini, MI dapat meminta
dokumen dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa
3. Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
Setelah pembelaan
tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah
proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan
dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak menentukan lain dan
disetujui oleh MI.
Para pihak mendapat dua
kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MI.
Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI, maka
pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna
dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965.
Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika
MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearingtersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut
Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah
pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan MI,
“The oral statements made on behalf of each party shall be as
succinct as possible within the limits of what is requisite for the adequate
presentation of that party’s contentions at the hearing. Accordingly, they
shall be directed to the issues that still divide the parties, and shall not go
over the whole ground covered by the pleadings, or merely repeat the facts and
arguments these contain. The Court may at any time prior to or during the
hearing indicate any points or issues to which it would like the parties
specially to address themselves, or on which it considers that there has been
sufficient argument.”
5. Perihal Khusus
Selain dari proses normal beracara di MI, juga
ada perihal khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses beracara tersebut.
Perihal tersebut adalah Keberatan Awal atau Preliminary Objection, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara atau Provisional
Measures, Beracara Bersama atauJoinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention.
6. Keberatan Awal (Preliminary Objections)
Keberatan awal diajukan
oleh pihak yang dituduhkan atau respondentatas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan
keputusan. Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal
ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak
sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI. Adapun keputusan MI
berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima
Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak
kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79
Aturan Mahkamah 1978.
7. Ketidakhadiran
Salah Satu Pihak (Non-Appearance)
Non-Appearance biasanya dilakukan oleh
pihak respondent dengan dasar antara lain menolak jurisdiksi MI.
Akan tetapi ketidakhadiran pihak respondent ini tidak menghentikan jalannya
proses beracara di MI. Proses normal beracara baik tertulis maupun presentasi
akan terus berjalan yang kemudian diberikan keputusan MI.
8. Keputusan Sela/Sementara (Provisional Measures)
Jika pada suatu waktu
dalam proses beracara terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari
applikasi yang diajukan, maka pihak applicantdapat meminta MI untuk mengindikasikan
usaha-usaha perlindungan (interim measures of protection) atau keputusan sela
(provisional measures). MI dapat meminta para pihak untuk tidak melakukan
hal-hal yang dapat membahayakan efektifitas keputusan MI atas permintaan
Keputusan Sela tersebut. Ketentuan mengenai Keputusan Sementara ini diatur di
dalam Aturan Mahkamah pasal 73-78
9. Beracara
Bersama (Joinder Proceedings)
Jika MI menemukan bahwa
ada dua pihak atau lebih dari proses beracara yang berbeda, akan tetapi
mempunyai argumen dan petitum yang sama atas satu pihak lawan yang sama, maka
MI dapat memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder proceedings).
Para pihak tersebut hanya bisa mempunyai satu hakim ad hoc dengan satu pembelaan baik tertulis maupun
presentasi yang digabung untuk melawan satu pihak yang sama.
10. Intervensi (Intervention)
MI memberikan hak kepada
Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk
melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan. Hak ini dapat diajukan jika
Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature
interest yang akan terkena dengan
adanya keputusan dari MI. Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada
bab berikutnya.
11. Keputusan (Judgment)
Ada tiga cara untuk
sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai
kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk
menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu
dianggap selesai. Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang
dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.
Selain itu pendapat
hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting
opinion, pendapat yang
menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions dan pendapat yang menyetujui atau declarations.
F. Putusan Mahkamah Internasional
Suatu sengketa yang
diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat berakhir karena hal-hal sebagai
berikut :
1.
Adanya kesepakatan dari
para pihak
Kesepakatan ini dapat
dialihkan pada setiap tahap persidangan dengan memberitahukan kepada Mahkamah
bahwa mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam hal terjadinya kesepakatan,
Mahkamah akan mengeluarkan surat putusan (order) yang berisi penghapusan
sengketa dari daftar Mahkamah. Contoh hal seperti ini tampak dalam sengketa
yang ditangani PCIJ yaitu the Delimitation of the Territorial Waters between
Island of Castello and Coasts of Anatolia, Losinger, Bochgrave (1973)
2. Tidak dilanjutkannya
persidangan
Suatu Negara penuntut
atau pemohon setiap waktu dapat memeberitahukan Mahkamah bahwa mereka telah
sepakat untuk tidak melanjutkanpersidangan atau kedua belah pihak menyatakan
bahwa mereka sepakat untuk menarik kembali sengketanya.
3. Dikeluarkannya
Putusan (Judgment)
Ada beberapa cara yaitu
:
a. Putusan diterbitkan
untuk masyarakat luas
Putusan tersebut
ipublikasikan secara luas memiliki segi positif yaitu telah memberikan
sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum internasional dengan
argument-argumen hukum dan pendapat –pendapat para hakim dimana telah menjadi
“sumber hukum” penting yang kemudian banyak diikuti oleh putusan-putusan
selanjutnya.
b. Pendapat Para Hakim,
terdiri dari :
§ Dissenting Opinion,
Yaitu suatu pendapat
hakim yang tidak setuju dengan satu atau beberapa hal dari putusan Mahkamah,
khusunya dasar hukum dan argumentasi dari putusan dan akibatnya mengeluarkan
putusan atau pendapat yang menetang putusan Mahkamah tersebut.
§ Separate Opinion
Yaitu suatu pendapat
yang menyatakan dukungan seorang hakim terhadap utusan Mahkamah khusunya
mengenai ketentuan hukum yang digunakan dan beberapa aspek yang menurutnya
penting, namun ia sendiri tidak sepaham dengan semua atau beberapa argumentasi
Mahkamah meskipun akhirnya isi putusan sama dengan Mahkamah.
c. Putusan Mengikat Para
Pihak
Sifat putusan Mahkamah
adalah mengikat, final, dan tidak ada banding. Putusan Mahkamah hanya
mengikat para pihak yang sengketa dan tidak mengikuti prinsip stare decisis
(sifat mengikat preseden) seperti yang dikenal dalam system hukum Common Law.
d. Penafsiran dan
Perubahan Putusan.
Wewenang untuk
menafsirkan dan mengubah putusan berada di tangan Mahkamah dengan ketentuan :
-
Atas permo
G. Kasus yang Melibatkan Peran Mahmakah Internasional dalam
Penyelesaian Sengketa.
1. Kasus
Posisi
Terkait dengan peran dan
tugas Mahkamah Internasional yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan
menganalisis tentang kasus yang ditangani oleh Mahkamah Internaional yaitu
kasus Pulau Sipadan – Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, dengan kasus
posisi sebagai berikut :
Kasus P. Sipadan dan P.
Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen
Indonesia–Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua
pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah
negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi
lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia.
Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P.
Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta
bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang
sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan
mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk
sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status quo”. Dua puluh
tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan
kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian
(1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang
diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat
tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama
(Joint
Commission/ JC & Joint Working
Groups / JWG).Namun dari
serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua
pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk
mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari
Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah
untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di
Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tgl. 6-7
Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui
rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for
the Submission to the International Court of Justice the Dispute between
Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P.
Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International
(MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan
di MI mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya
berada di tangan RI.
Namun demikian kedua
negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999
diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua
negara bersengketa pada 3–12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi
tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang
terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes
TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan
pakar hukum laut International.
Proses penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan – Ligitan Oleh Mahkamah
Internasional.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes
RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl
(International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses
hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup
banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan
kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk
membayar pengacara.
ICJ/MI dalam
persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua
pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh
kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence,
effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to
the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah
Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor
to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
Mahkamah kemudian
menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau
tersebut adalah dengan menerpakan doktrin effective occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective
occupation ini adalah keputusan
adannya cut-off dateatau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada.
Critical date yang ditentukan oleh
Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun
1969 seperti pembangunanresort dianggap tidak berdampak
hukum sama sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam
kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk secara
utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September 1963.
Dapat dimengerti
bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan
dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak
begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa
prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum
Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan
berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan
suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau
wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective
occupation tidak bisa diterapkan
kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan
arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas.
Jelas elemen kuncinya
dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan,
peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini
tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio) yang berarti
tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik.
Karena temasuk doktrin
internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang
merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau
norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya
sebuah perbuatan hukum.
MI dalam penyelesaian
kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah
menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak
pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia.
Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam
wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia
berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum
atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan
secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau
sengketa.
MI juga menolak
argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di
bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891.
Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik
sebagai allocation linedan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau
sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status
kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van
Toelichting. Peta Memori van
Toelichting yang memberikan
ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak
memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891.
mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa
tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif
dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical
date mengingat argumentasi
hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim
kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
1.
Berkaitan dengan
pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat
yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang
dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas
kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta
bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari
1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan
Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Berkaitan dengan
pembuktian effectivitiesMalaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang
diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan
dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian
upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi
yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
A.
Pengutipan pajak
terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
B.
Penyelesaian sengketa
dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
C.
Penetapan P. Sipadan
sebagai cagar burung, dan
D.
Pembangunan dan
pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P.
Ligitan
Dalam mengkaji bukti-bukti
hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah
mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:
v Indonesia mengajukan
bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga
1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada
November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di
perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan
oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan
perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
v Malaysia mengajukan
bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance
1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung
tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah
produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
Sebelum menilai
bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960
tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik
Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau
Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu
perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat
bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama
dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan
klaim.
Mengenai kegiatan
perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private
persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis
of official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian
dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas
Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa
dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation.
Mahkamah berpandangan
bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan
Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah
ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris
tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of
authority over territory which is specified by name”.
Esensi keputusan ini
bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus
memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan
orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu
pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif
lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini
juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan
juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan
perundang-undangan.
Perlu digarisbawahi
bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan
bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia
mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas
kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh
sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September
1963.
Hasil Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan – Ligitan oleh Mahkamah
Internasional
Sidang International
Court and Justice (ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 telah memutuskan bahwa
Pulau Sipadan dan Ligitan yang sejak tahun 1970-an menjadi sengketa antara
Malaysia dan Indonesia, secara resmi menjadi milik Malaysia. Sehubungan dengan
keputusan yang cukup mengejutkan Bangsa Indonesia tersebut, bersama ini kami
menyampaikan masukan dan tanggapan sebagai berikut :
1.
Pulau Sipadan memiliki
luas 10,4 ha dan terletak 15 mil dari Sabah serta 40 mil dari daratan Pulau
Sebatik, demikian juga dengan Pulau Ligitan hanya 7,9 ha dengan j arak 21 mil
dari Sabah dan 57,6 mil dari Sebatik.Masalah Sipadan dan Ligitan muncul menjadi
sengketa tentang kepemilikannya, apakah Indonesia atau Malaysia bermula sejak
tahun 1969, dimana sejak saat itu kedua negara menyepakati tidak akan melakukan
kegiatan apapun pada kedua pulau tersebut sambil terus mengupayakan
penyelesaiannya.
2.
Dari sejarah
“kepemilikan” Pulau Sipadan dan Ligitan ini dapat ditelusuri jauh kebelakang,
berdasarkan argumen masing-masing negara, meliputi : a. Indonesia memiliki
data-data sejarah yang mendukung klaim kepemilikan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan, yaitu :
§ Konvensi antara Belanda – Inggris pada tahun
1891 mengenai kesepakatan daerah di selatan garis paralel 4′ 10 menit Lintang
Utara milik Belanda dimana Pulau Sipadan dan Ligitan berada di sebelah selatan
garis itu.
§ Kesepakatan tersebut dikukuhkan dalam peta yang
dibuat Belanda dan diakui Inggris.
§ Peta-peta yang dibuat Kartografi Stanford
(Inggris) dan peta yang dibuat Badan Pemetaan Nasional Malaysia hingga 1970-an,
tidak mencantumkan Sipadan – Ligitan sebagai milik Malaysia.
§ Belanda telah melakukan kedaulatan dengan
melakukan survei serta patroli dikedua pulau itu pada 1903 serta mendaratkan
Kapal Lynx di Sipadan pada 1921.
§ Izin penambangan minyak yang dikeluarkan
Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengacu pada Konvensi 1891.
1.
Demikian juga dengan
Malaysia memiliki data-data sejarah, yaitu:
§ Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan secara
estafet dari Sultan Dent/Overback – Inggris – Malaysia serta Sultan Sulu
-Spanyol – AS Inggris – Malaysia ( Chain of Title ).
§ Doktrin penguasaan efektif secara
berkesinambungan (effective occupation) atas kedua pulau tersebut.
§ Malaysia lebih banyak memiliki bukti tindakan
administratif di kedua pulau itu. Antara lain penerbitan ordonansi perlindungan
satwa burung oleh Inggris pada 1917, penarikan pajak bagi pengumpul telur penyu
sejak tahun 1930 dan pengoperasian mercusuar sejak tahun 1960-an serta
melaksanakan aktivitas kepariwisataan sejak 1980.
§ Fakta bahwa, kapal perang AS pada 1903
mengunjungi Pulau Sipadan dan mengklaim menjadi miliknya.
§ Tidak ada bukti tertulis bahwa kedua pulau itu
pernah berada di bawah administrasi Belanda yang diperoleh dari Kesultanan
Bulungan.
§ Garis batas 40 10 menit Lintang Utara bukanlah
allocation line, karena Ingris tidak pemah mengindikasikan keinginannya untuk
menentukan batas laut territorial di Bomeo Utara.
1.
Deklarasi Juanda tanggal
13 Desember 1957 tentang Wawasan Nusantara yaitu mengenai status Indonesia
sebagai negara kepulauan, dimana perairan territorial Indonesia sebelumnya
hanya sejauh 3 mil dari tiap-tiap pulau di kepulauan Indonesia. Konvensi Hukum
Laut I Jenewa 1958, Konvensi tentang Laut Teritorial memungkinkan suatu negara
menarik garis pangkal dengan straight base line dan normal base line. Melalui
Undang-Undang No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dikenal sebagai negara
kepulauan dan dilakukan penarikan garis pangkal untuk mengukur laut teritorial
sejauh 12 mil dari titik terluar dari pulau-pulau terluar. Titik dasar yang
didapat dari hasil perhitungan diatas peta (tanpa melalui survei lapangan)
sebayak 200 titik dasar dengan metode point to point theory.
Satu hal mendasar yang
“terlupakan” dalam UU No. 4/Prpl1960 adalah Pulau Sipadan dan Ligitan tidak
dimasukkan dalam wilayah negara kepulauan Indonesia.
1.
Sesuai dengan
berjalannya waktu, sengketa Sipadan-Ligitan mulai muncul pada tahun 1969 yaitu
saat kedua negara mengadakan perundingan penetapan batas landas kontinen di
perairan Selat Malaka dan Laut Sulawesi pada 22 September 1969 di Kuala Lumpur.
Dalam pembahasan tentang batas landas kontinen di laut Sulawesi secara
bersamaan baik delegasi Indonesia maupun Malaysia mengklaim pulau Sipadan dan
Ligitan sebagai miliknya. Akhirnya dalam perundingan ini disepakati kedua pihak
menahan diri dan tidak akan melakukan kegiatan apapun pada kedua pulau
tersebut, sambil menunggu penyelesaian masalahnya. Kesepakatan kedua negara ini
ditafsirkan oleh Indonesia sebagai penetapan “status quo” atas kedua pulau
dimaksud
Namun dilain pihak
Malaysia sejak tahun 1980-an telah melakukan berbagai pembangunan infrastruktur
pariwisata bahari di kedua pulau, Sipadan dan Ligitan meskipun masih dalam
status sengketa. Indonesia beberapa kali mengajukan protes kepada Malaysia,
namun pengembangan pariwisata di kedua pulau berjalan terus.
1.
Konferensi PBB tentang
hukum laut III kpada 30 April 1982 di New York telah berhasil menyusun United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS’ 82) yang kemudian
ditandatangani 117 negara termasuk Indonesia pada tanggal 10 Desember 1982 di
Montego Bay, Jamaica. Melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tanggal 31
Desember 1985, Indonesia meratifikasi UNCLOS’ 82 yang berarti bahwa seluruh
perangkat hukum Indonesia yang sudah ada atau akan ada harus mengacu kepada
konvensi tersebut.
Dengan telah berlakunya
UN,CLOS ‘82 secara resmi diseluruh dunia sejak 16 Nopember 1994, maka Indonesia
secara yuridis formal telah diakui sebagai negara kepulauan, termasuk hak-hak
dan kewajiban yang melekat pada wilayah negara kepulauan. Salah satu kewajiban
Indonesia adalah penyesuaian cara penarikan garis pangkal sesuai dengan
ketentuan dalam LJNCLOS ‘82, yang selanjutnya menjadi dasar untuk penetapan
perbatasan wilayah laut, meliputi lebar Laut Teritorial 12 mil (pasal 3 LTNCLOS
‘82), Lajur Tambahan (Contigous Zone) 24 mil (pasal 33), Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) selebar 200 mil (pasal 48 dan 57) serta Landas Kontinen selebar 200 mil
(pasal 76). Khusus untuk landas kontinen dimana konfigurasi dasar lautnya
sedemikian rupa sehingga batas terluamya berada di continental margin yang
terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum selebar 350 mil dari garis pangkal
atau 100 mil dari kedalaman laut 2500 meter.
Tahun 1989 – 1995
Dishidros TNI-AL telah melaksanakan survei lapangan guna penyesuaian titik
dasar yang terdapat dalam Undang-Undang 4/Prp/1960 (200 titik), dimana telah
didapatkan 232 titik dasar. Hasil penyesuaian penarikan garis pangkal
berdasarkan UNCLOS ‘82, maka didapat 189 titik dasar.
Hasil survei inilah (189
titik dasar) yang digunakan sebagai lampiran dari Undang-Undang Nomor 6 tahun
1996 tentang Perairan Indonesia berupa Peta Iktisar wilayah yuridiksi Negara
Kepulauan Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor 4/Prpl1960, namun
tanpa mencantumkan daftar koordinat titik-titik dasar.
Penetapan UU
(Undang-Undang) Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini antara lain
dimaksud untuk memasukkan (secara hukum) pulau Sipadan dan Ligitan yang tidak
tercantum dalam UU No. 4/Prpl1960, namun masih sangat lemah karena batas
wilayah negara Republik Indonesia hanya berupa Peta Iktisar, tanpa daftar
koordinat titik-titik dasar.
1.
Batas wilayah yang
ditetapkan Inggris (British North Borneo Company) bersama Belanda di pulau
Sebatik sepanjang garis paralel 4 derajat, 10 menit LU, tidak tegas menunjukkan
apakah garis batas paralel tersebut ditarik ke laut sampai jauh kearah Timur /
pulau Sipadan dan Ligitan. Dengan kata lain apakah konvensi 1891 hanya mengatur
batas di darat (P. Sebatik) atau termasuk juga batas dilaut (sampai arah Sipadan
– Ligitan ). Hal ini dapat dilihat dalam pasal 4, Konvensi 1891 sebagai berikut
: From 4 degree 10 minutes latitude in the east coast the boundary line shall
be continued eastward along that parallel, across the island of Sebatik,- that
portion of the island situated to the north of that parallel shall belong
unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south of that
parallel to the Netherlands.
Indonesia mengartikan,
garis batas 4 dera at 10 menit LU tersebut berlanjut terus ke laut. Karena itu,
Indonesia berpendapat bahwa Konvensi 1891 tidak hanya mengatur batas darat
Borneo, melainkan juga batas laut. Hal itu diperkuat dengan Mukadimah Konvensi
1891 yang menyebutkan, Konvensi dibuat untuk menetapkan batas antara wilayah
milik Belanda di Pulau Borneo dan negaranegara di pulau tersebut yang berada
dalam kekuasaan Inggris.
Penafsiran itu pun
sesuai dengan Konvensi Wina 1969 Pasal 31 tentang Perjanjian Intemasional yang
mengatakan, interpretasi suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik, sesuai dengan makna kontekstual dan memperhatikan tujuan pembentukan.
1.
Tujuh tahun kemudian,
melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2002 tertanggal 28 Juni 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia, batas wilayah juridiksi negara Kepulauan Indonesia ditetapkan
termasuk pulau Sipadan (Titik Dasar No. 03 6 A) dan pulau Ligitan (Titik Dasar
No. 036 B dan 036 C). Namun penetapan PP Nomor 38 tahun 2002 ini sudah cukup
terlambat untuk mendukung klaim Indonesia bahwa pulau Sipadan-Ligitan masuk
wilayah Indonesia, dikaitkan dengan upaya penyelesaian sengketa pulau
Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia telah disepakati melalui “Special
Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute
between Indonesia and Malaysia Concerning the Souverenity over pulau Sipadan
and Ligitan” tanggal 31 Mei 1997, dimana kedua pihak memutuskan mengajukan
sengketa kedua pulau ke ICJ (Malikamah Intemasional) di Den Haag. Kesepakatan tersebut
langsung ditindaklanjuti pada 19 Nopember 1997 dan disusul Ratifikasi oleh
Indonesia dengan Keppres Nomor 47 tahun 1997 tertanggal 29 Desember 1997.
Special Agreement ini disampaikan ke ICJ pada 2 Nopember 1998 melalui
Notifikasi bersama kedua negara. Hasil sidang ICJ tersebut nantinya bersifat
final dan mengikat (final and binding), selaras dengan Piagam PBB Pasal 94 ayat
1.
2.
Perkembangan terakhir
dari sengketa pulau Sipadan dan Ligitan yang ditangani oleh ICJ temyata tidak
secara khusus menggunakan argumen historis kedua negara. Para hakim ICJ yang
berjumlah 17 orang (termasuk 2 orang hakin7 masing-masing mewakili Indonesia
dan Malaysia), justru menggunakan ordonansi pengeluaran izin untukperlindungan
margasatwa / burung pada tahun 1917 dan penarikan pajak pemungut telur penyu
tahun 1930 oleh pemerintah Inggris. Hal ini merupakan pertimbangqn
effectivities, dimana penierintah Inggris yang menjajah Malaysia saat itu telah
nielaksanakan tindakan administratif di kedua pulau tersebut. Dalam persidangan
terakhir ICJ di Den Haag, Belanda pada tanggal 17 Desember 2002, telah
menjatuhkan putusan akhir dimana dari 17 hakim, hanya I orang yang memenangkan
Indonesia, lainnya 16 orang hakim memenangkan Malaysia.
Keputusan final ICJ ini
meneguhkan kedaulatan Malaysia atas pulau Sipadan dan Ligitan, dilain pihak
Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa dan harus menerimanya karena keputusan
ICJ bersifat final.
1.
Indonesia sebagai negara
kepulauan (Archipelagis State) yang terbesar di dunua dengan 15.708 pulau dan
panjang garis pantai 81.000 km, memiliki wilayah perbatasan maritime laut
dengan 10 negara yaitu : India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam,
Philipina, Republik Palau, Papua Nuigini, Timor Leste dan Australia. Dari semua
wilayah perbatasan dengan negara tetangga, baru perbatasan maritime antara
Indonesia dan Australia yang sudah tuntas di tanda tangani pada tanggal 14
Maret 1997 di Perth, Australia oleh Menteri Luar Negeri RI Ali A latas dan
Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer.
Dalam perjanjian batas
maritime kedua negara ini, yang cukup menonjol dan perlu disqsialisasikan untuk
Pemda di wilayah perbatasan adalah pulau Christmas yang memiliki wilayah ZEE
selebar 38,75 mil (12 mil wilayah kedaulatan dan 26,75 mil wilayah ZEE, kearah
Utara) dan Pulau Ashmore (dulu bernama Ashmore Reef) dengan ZEE selebar 24 mil
(12 mil wilayah kedaulatan dan 12 mil ZEE).
1.
Dengan adanya 9 wilayah
perbatasan dengan negara tetangga yang belum tuntas penyelesaiannya, perlu
upaya yang optimal dari instansi terkait antara lain Departemen Luar Negeri,
Departemen Kela utan dan Perikanan (DKP), Departemen Sumber Daya Alam dan
Mineral, Departemen Pertahanan, Dishidros TNI-AL dan lain-lainnya guna
bersama-sama inenyelesaikannya. Masalah ini sangat mendesak mengingat potensi
timbulnya konflik khususnya terhadap beberapa pulau-pulau diperbatasan,
terutama nelayan-nelayan asing yang kadang-kadang menjadikan pulau kita sebagai
pangkalannya, bahkan terjadi interaksi sosial dengan penduduk setempat yang
pada gilirannya menimbulkan dampak negatif (penyebaran penyakit AIDS,
berfoya-foya dengan minimum keras serta pelanggaran imigrasi)., Masalah lain
yang mendesak untuk ditandaklanjuti adalah melaksanakan survey ulang (resurvey)
diwilayah perbatasan Kalimantan Timur dan Malaysia sebagai akibat pulau Sipadan
dan Ligitan telah menjadi milik Malaysia. Demikian juga dengan wilayah perairan
perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste termasuk ALKI III A dan III B yang
melalui perairan antara kedua negara perlu penyesuaiannya. Hasil survey ini akan
digunakan untuk penetapan batas negara pada kedua wilayah tersebut diatas yaitu
Kalimantan Timur dan Timor Leste.
2.
Di wilayah perbatasan
dengan negara tetangga terdapat puluhan “pulau-pulau kecil strategis ” yang
perlu mendapat prioritas dari pemerintah untuk memberdayakan penduduknya dan
meningkatkan pengamanannya agar tidak mudah didatangi orang asing secara
illegal, yang dapat nienimbulkan dampak negatif, antara lain :
§ Pulau Rondo, di wilayah Aceh (the mos, western islands of
Indonesia) yang berbatasan dengan negara tetangga India, di pulau ini terdapat
2 titik dasar yaitu TD. 117 dan TD. 177A. Selama ini tidak ada permasalahan,
namun tetap diwaspadai, mengingat pulau tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan
nelayan asing sebagai persinggahan.
§ Pulau Nipah di Selat Malaka / Selat Singapura. Di pulau ini
terdapat 2 titik dasar yaitu TD. 190 dan TD. 190A. Permasalahan yang timbul
adalah kegiatan penganibilan pasir dari Pulau Nipah yang dijual ke Singapura,
yang akan menenggelamkan pulau ini. Data di lapangan menunjukkan bahwa luar
Pulau Nipah yang 60 ha, pada saat pasang tertinggi daratannya tinggal IO% (6
ha), menyebabkan titik dasar yang ada dapat hilang sehingga batas wilayah
dengan hegara tetangga Singapura dan Malaysia akan terganggu.
§ Pulau Miangas (Las Palmas), terletak di Kabupaten Sangir
Talaud (Satal) dan merupakan pulau paling utara dari gugusan kepulauan Satal,
bellim ada penyelesaian kepemilikan dengan Philipina, namun de fakto ada suar
yang dibangun Indonesia di pulau ini dan penduduknya adalah Indonesia. Terdapat
juga 2 titik dasar yaitu TD. 056 dan TD. 056A. Pulau Miangas ini menurut
Undang-Undang Dasar Philipina (tahun 1898) masuk wilayah maritime Philipina,
sehingga setiap upaya membahasnya dengan Philipina selalu menemui jalan buntu.
Philipina menyatakan bahwa bila Pulau Miangas dikeluarkan dari wilayah
Philipina, berarti harus mengubah UUD.
§ Pulau-pulau Mapia, terletak di utara Propinsi Papua. Dalam
gugusan Pulau Mapia ini terdapat 2 titik dasar yaitu TD. 072 di Pulau Fanildo
dan TD 072A di Pulau Bras. Permasalahan yang menon;,,l tidak ada karena
jaraknya ke Republik Palau cukup jauh yaitu 382 mil, hanya bila Indonesia dan
Republik Palau menetapkan perairan ZEE-nya, akan terdapat overlap perairannya.
§ Pulau Pasir (pulau Ashmore), pulau ini lebih dikenal dengan
Pulau Ashmore, di dalam peta-peta lama dikenal juga dengan nama Ashmore Reef,
terlet@k di sebelah selatan Pulau Roti (N7T). Pulau tidak ada permasalahan
karena perjanjian batas maritime antara Indonesia dan Australia yang
ditandatangani 17 Maret 1997, menjadikan pulau ini resmi menjadi milik
Australia. Dari penelitian Tim Indonesia sebelum perjanjian ditandatangani
diketahui bahwa di pulau. Pasir ini tumbuh 2 pohon kelapa, lapisan tanah
dibawah lapisan pasir karang terdapat lapisan tanah biasa yang dapat
menumbuhkan vegetasi serta terdapat air tawar, maka diterapkan pasal 121 UNCLOS
‘82, yaitu pulau ini dapat mendukung kehidupan manusia. Oleh sebab itu Pulau
Pasir ini memiliki perairan ZEE 24 mil (ke arah utara, Indonesia) termasuk didalamnya
perairan kedaulatan 12 mil. Dengan letak yang strategis dari beberapa
pulau-pulau kecil diperbatasan yang sekaligus berpotensi konflik baik dari
aspek ekonomi, maupun aspek pertahaiian, peiiierintali seyogyaiiya
iiieiiiprioritaskan pengelolaaii pLi]aLlpulau tersebut.
1.
Kesimpulan
§ Bila kita melihat kebelakang tentang upaya-upaya
Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun 1960-an untuk menyelesaikan sengketa
pulau Sipadan Ligitan, maka sebenarnya upaya-upaya tersebut eukup intensif,
namun masih terdapat berbagai kekurangan-kekurangan, antara lain
§ Sejak negara kesatuan Republik Indonesia
terbentuk pada 1945, tidak pemah melakukan aktivitas ekonomi di kedua pulau
Sipadan dan Ligitan, jadi Indonesia tidak ada upaya dalam pengelolaan
sumberdaya yang terdapat pada kedua pulau Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya
Malaysia sejah tahun 1980-an telah menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai
pulau wisata bahari.
§ Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan
Indonesia terdapat “Ke-alpaan” para penyusun Undang-Undang tersebut yaitu
dengan tidak mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan dalam wilayah kedaulatan
negara kepulauan Indonesia.
§ Demikian juga dengan penetapan PP No. 6 tahun
1996 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus menggantikan UU No.4/Prp/1960
tidak mencantumkan daftar koordinat titik dasar wilayah kepulauan Indonesia, PP
hanya dilampiri peta Ikhtisar wilayah yuridiksi kepulauan Indonesia.
§ Sistem pengars,ipan Indonesia terhadap
dokumen-dokumen sejarah, khususnya menyangkut dokumen wilayah perbatasan yang
ada sejak tahun 1900-an sangat lemah, sehingga saat dokumen-dokumen dibutuhkan
kita harus ke negara tertentu misalnya Belanda dan Inggris untuk menelusurinya.
Hal ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar dan belum tentu negara
bersangkutan “mau memberikan secara ikhlas” data dan peta-peta dimaksud.
§ Pengelolaan pulau-pulau kecil yang terletak di
wilayah perbatasan belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah
pusat, khususnya aspek ekonomi, social, budaya dan pertahanan keamanan sehingga
beberapa pulau kecil diperbatasan secara bebas didatangi orang asing bahkan
mereka berinteraksi dan menetap di pulau-pula.u tersebut.
§ Mengoptimalkan upaya penyelesaian masalah
perbatasan dengan 9 negara tetangga, melalui sinergis instansi terkait,
sehingga pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan
secara komprehensif
RANGKUMAN
Pada tahun 1942, Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari Inggris menyatakan kesepakatan
untuk mengaktifkan dan membentuk kembali suatu mahkamah internasional. Pada
tahun 1943 pemerintah Inggris mengambil inisiatif dengan mengundang para ahli
London untuk mengkaji masalah tersebut yaitu Inter-Allied Committee yang
dipimpin oleh Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil
mengeluarkan laporannya pada tanggal 10 Februari 1944 yang memuat beberapa
rekomendasi sebagai berikut :
1.
Bahwa perlu dibentuk
suatu Mahkamah Internasional baru dngan statute yang berlandaskan Statuta PCIJ.
2.
Bahwa mahkamah baru
tersebut harus memiliki yurisdiksi untuk memberikan nasehat.
3.
Bahwa mahkamah baru
tersebut tidak boleh memiliki yurisdiksi memaksa (cumpolsory jurisdiction).
Setelah berbagai
pertemuan dan pembahasan mengenai pembentukan suatu mahkamah baru, akhirnya
dicapailah kesepakatan pada Konferensi San Fransisco pada tahun 1945 yang
memutuskan bahwa akan dibentuk suatu badan Mahkamah Internasional beru dan
badan ini merupakan badan utama PBB (Pasal 92 Piagam PBB).
Suatu organisasi
internasional harus berlandaskan pada aturan, aturan yang berkenaan dengan MI
sebagai sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah:
1.
Piagam PBB (1945),
2.
Statuta MI (1945),
3.
Aturan Mahkamah atau
Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000,
4.
Panduan Praktek atau
Practice Directions I – IX dan
5.
Resolusi tentang Praktek
Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution Concerning the Internal
Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari
Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970).
Dalam menjalankan
tugasnya, Mahkamah Internasional terdiri dari Hakim Mahkamah Internasional,
Hakim Ad Hoc, Chamber dan The Registr. Sedangkan mengenai Yurisdiksi, pada
dasarnya adalah suatu bentuk kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan
internasiobal, yang memberi kekuasaan pada pengadilan internasional untuk
memeriksa kasus, menerapkan hukum dan mengambil keputusan atasnya. Ada empat
kriteria yang menentukan yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu pengadilan
internasional,yakni :
1.
wilayah
2.
waktu
3.
materi perkara
4.
person yang dapat
dicakup oleh pengadilan yang bersangkutan
Secara umum mekanisme
beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi
bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.
1.
Penyerahan Perjanjian
Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)
2.
Pembelaan Tertulis
(Written Pleadings)
3.
Presentasi Pembelaan
(Oral Pleadings)
4.
Perihal Khusus
5.
Keputusan (Judgment)
Perihal putusan Mahkamah
Internasional, Suatu sengketa yang diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat
berakhir karena hal-hal sebagai berikut :
1.
Adanya kesepakatan dari
para pihak
Kesepakatan ini dapat
dialihkan pada setiap tahap persidangan dengan memberitahukan kepada Mahkamah
bahwa mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam hal terjadinya kesepakatan,
Mahkamah akan mengeluarkan surat putusan (order) yang berisi penghapusan
sengketa dari daftar Mahkamah. Contoh hal seperti ini tampak dalam sengketa
yang ditangani PCIJ yaitu the Delimitation of the Territorial Waters between
Island of Castello and Coasts of Anatolia, Losinger, Bochgrave (1973)
1.
Tidak dilanjutkannya
persidangan
Suatu Negara penuntut
atau pemohon setiap waktu dapat memeberitahukan Mahkamah bahwa mereka telah
sepakat untuk tidak melanjutkanpersidangan atau kedua belah pihak menyatakan
bahwa mereka sepakat untuk menarik kembali sengketanya.
1.
Dikeluarkannya Putusan
(Judgment)
Yang terakhir ialah
mengenai analisis kasus Sipadan-Ligitan, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
:
§ Bila kita melihat kebelakang tentang upaya-upaya
Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun 1960-an untuk menyelesaikan sengketa
pulau Sipadan Ligitan, maka sebenarnya upaya-upaya tersebut eukup intensif,
namun masih terdapat berbagai kekurangan-kekurangan, antara lain
§ Sejak negara kesatuan Republik Indonesia
terbentuk pada 1945, tidak pemah melakukan aktivitas ekonomi di kedua pulau
Sipadan dan Ligitan, jadi Indonesia tidak ada upaya dalam pengelolaan
sumberdaya yang terdapat pada kedua pulau Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya
Malaysia sejah tahun 1980-an telah menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai
pulau wisata bahari.
§ Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan
Indonesia terdapat “Ke-alpaan” para penyusun Undang-Undang tersebut yaitu
dengan tidak mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan dalam wilayah kedaulatan
negara kepulauan Indonesia.
§ Demikian juga dengan penetapan PP No. 6 tahun
1996 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus menggantikan UU No.4/Prp/1960
tidak mencantumkan daftar koordinat titik dasar wilayah kepulauan Indonesia, PP
hanya dilampiri peta Ikhtisar wilayah yuridiksi kepulauan Indonesia.
§ Sistem pengars,ipan Indonesia terhadap
dokumen-dokumen sejarah, khususnya menyangkut dokumen wilayah perbatasan yang
ada sejak tahun 1900-an sangat lemah, sehingga saat dokumen-dokumen dibutuhkan
kita harus ke negara tertentu misalnya Belanda dan Inggris untuk menelusurinya.
Hal ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar dan belum tentu negara
bersangkutan “mau memberikan secara ikhlas” data dan peta-peta dimaksud.
§ Pengelolaan pulau-pulau kecil yang terletak di
wilayah perbatasan belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah
pusat, khususnya aspek ekonomi, social, budaya dan pertahanan keamanan sehingga
beberapa pulau kecil diperbatasan secara bebas didatangi orang asing bahkan mereka
berinteraksi dan menetap di pulau-pula.u tersebut.
Penulis adalah mahasiswi
semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku :
Adolf Huala, S.H, LL.M,
Ph.D.2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika
Merrilis. J.G. 1986. Penyelesaian
Sengketa Internasional.Bandung
: Tarsito. Disadur oleh Achmad Fauzan S.H.
Suryokusumo, Sumaryo. Pengantar Hukum
Internasional, Jakarta: FHUP, 2006.
Bowett, D.W, Q.C.LL.D.
1991. Hukum
Organisasi Internasional.
Jakarta : Sinar Grafika.
Suryokusumo, Sumaryo.
2007. Pengantar
Hukum Organisasi Internasional. Jakarta : PT Tatanusa
Setianingsih Sri,
Suwardi.2004. Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Pers)
Siswanto,Arie, 2006. Yurisdiksi
Material, Bogor : Ghalia.
Starke,J.G, 2000. Pengantar Hukum
Internasional. Jakarta : Sinar
Grafika
Sumber Internet :
http://isdianto.blogspot.com/2008/07/kemenangan-malaysia-atas-p-sipadan-p.html diunduh : Rabu, 8 desember 2009 pk. 23.30
ww.wikipedia.com
Sumber Koran / majalah :
SK. Kompas,
Sipadan-Ligitan, Ujian Kematangan Suatu Bangsa, Jakarta, 18 Desember 2002.
SK Kompas, Sangir Bobol,
Indonesia Terancam, Jakarta, 23 Desember 2002.
Adi Sumardiman, Ir, SH,
Sipadan dan Ligitan, SK. Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Hasjim Djalal, Prof. DR,
Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi ?, SK Kompas, Jakarta, 13
Januari 2003
Diberdayakan oleh Blogger.
About Me
- Soman Mujahid